Cyber Law merupakan aspek hukum yang
istilahnya berasal dari Cyberspace Law,
yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang
perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
internet/elektronik yang dimulai pada saat mulai "online" dan
memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet/elektronik
sebagai alat untuk memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum
dunia maya sudah sangat maju.
Berikut
ini adalah ruang lingkup atau area yang harus dicover oleh cyberlaw. Ruang
lingkup cyberlaw ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi
pada pemanfaatan Internet dikemudian hari.
1. Electronic Commerce
Pada awalnya electronic commerce (E-Commerce) bergerak dalam bidang retail
seperti perdagangan CD atau buku lewat situs dalam World Wide Web (www). Tapi saat ini ecommerce sudah melangkah jauh
menjangkau aktivitas-aktivitas di bidang perbankan dan jasa asuransi yang
meliputi antara lain ”account inquiries”,
”1oan transaction”, dan sebagainya. Sampai saat ini belum ada pengertian
yang tunggal mengenai E-Commerce. Hal ini disebabkan karena hampir setiap saat
muncul bentuk- bentuk baru dari Ecommerce dan tampaknya E-Commerce ini
merupakan salah satu aktivitas cyberspace yang berkembang sangat pesat dan
agresif. Sebagai pegangan (sementara) kita lihatdefinisi E-Commerce dari
ECEG-Australia (Electronic Cornmerce Expert Group) sebagai berikut: “Electronic commerce is a broad concept that covers
any commercial transaction that is effected via electronic means and would
include such means as facsimile, telex, EDI, Internet and the telephone”.
Persoalan
jaminan keamanan dalam E-Commerce pada umumnya menyangkut transfer informasi seperti
informasi mengenai data-data credit card dan data-data individual konsumen.
Dalam area ini ada dua masalah utama yang harus diantisipasi yaitu (1) ”identification integrity” yang menyangkut
identitas si pengirim yang dikuatkan lewat ”digital signature”, dan (2) adalah ”message integrity” yang menyangkut
apakah pesan yang dikirimkan oleh si pengirim itu benar-benar diterima oleh si penerima
yang dikehendaki (intended recipient).
Dalam kaitan ini pula para konsumen memiliki kekhawatiran adanya ”identity theft”’atau ”misuse of information” dari data-data
yang diberikan pihak’ konsumen kepada perusahaan.
Persoalan-persoalan/Aspek-aspek
hukum terkait dengan ecommerce:
a. Kontrak
Persoalan
b. Perlindungan
Konsumen
c. Pajak
(Taxation)
d. Jurisdiksi
(Jurisdiction)
e. Digital
Signature
f. Copy
Right
g. Dispute
Settlement
2. Domain Name
Domain name dalam Internet secara sederhana
dapat diumpamakan seperti nomor telepon atau sebuah alamat. Contoh, domain name
untuk Monash University Law School, Australia adalah ”law.monash.edu.au”.
Domain name dibaca dari kanan ke kiri yang menunjukkan tingkat
spesifikasinya,
dari yang paling umum ke yang paling khusus. Untuk contoh di atas, ”au” menunjuk kepada Australia sebagai geographical
region, sedangkan ”edu” artinya pendidikan (education) sebagai Top-level Domain
name (TLD) yang menjelaskan mengenai tujuan dari institusi tersebut. Elemen
seIanjutnya adalah ”monash” yang merupakan ”the Second-Level Domain name” (SLD)
yang dipilih oleh pendaftar domain name, sedangkan elemen yang terakhir ”law”
adalah ”subdomain” dari monash Gabungan antara SLD dan TLD dengan berbagai
pilihan subdomain disebut ”domain name”.
Perbedaan Cyberlaw (Peraturan
dan Regulasi) di beberapa Benua
Ruang
lingkup dari Cyber Law meliputi hak cipta, merek dagang, fitnah/penistaan, hacking,
virus,
akses
Ilegal, privasi, kewajiban pidana, isu prosedural (Yurisdiksi, Investigasi,
Bukti, dll), kontrak
elektronik,
pornografi, perampokan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Model
Regulasi
Pertama, membuat
berbagai jenis peraturan perundang-undangan yang sifatnya sangat spesifik yang merujuk
pada pola pembagian hukum secara konservatif, misalnya regulasi yang mengatur
hanya aspek-aspek perdata saja seperti transaksi elektronik, masalah pembuktian
perdata, tanda tangan elektronik, pengakuan dokumen elektronik sebagai alat
bukti, ganti rugi perdata, dll., disamping itu juga dibuat regulasi secara
spesifik yang secara terpisah mengatur tindak pidana teknologi informasi (cybercrime)
dalam undang-undang tersendiri. Kedua, model regulasi
komprehensif yang materi muatannya mencakup tidak hanya aspek perdata, tetapi
juga aspek administrasi dan pidana, terkait dengan dilanggarnya ketentuan yang
menyangkut penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Pada
negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk
memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya
sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika
Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang
mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
1.
Cyberlaw
di Asia (Indonesia)
Indonesia telah resmi mempunyai
undang-undang untuk mengatur orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam
dunia maya. Cyber Law-nya Indonesia yaitu undang–undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Di berlakukannya undang-undang ini, membuat
oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang diberikan apabila melanggar tidak
sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang
muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah
asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana
aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Sebagian
orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak sedikit yang mendukung
undang-undang ini.
Dibandingkan
dengan negara-negara di atas, indonesia termasuk negara yang tertinggal dalam
hal pengaturan undang-undang ite. Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal
sebagai berikut:
·
Tanda tangan elektronik
·
Alat bukti elektronik
·
UU ITE
·
Pengaturan nama domain dan Hak Kekayaan
Intelektual
·
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal
27-37)
·
Pasal 27 (asusila, perjudian,, penghinaan
dan pemerasan)
·
Pasal 28 (berita bohong dan menyesatkan,
berita kebencian dan permusuhan atau hoax)
·
Pasal 29 (ancaman kekerasan dan
menakut-nakuti)
·
Pasal 30 (akses komputer pihak lain tanpa
izin, cracking)
·
Pasal 31 (penyadapan perubahan,
penghilangan informasi)
·
Pasal 32 (pemindahan, perusakan, dan
membuka informasi rahasia)
·
Pasal 33 (virus, membuat sistem tidak
bekerja)
·
Pasal 35 (menjadikan seolah dokumen
otentik/phising)
Namun ternyata dalam perjalanannya ada
beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw”
Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang
terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan
komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet
untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan
nama domain, dan masalah privasi. Nama dari RUU ini pun berubah dari
Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi
RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal
yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan
seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah
situs di Indonesia. Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas
crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan.
Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi
Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi
sebuah tempat di dunia.
2.
Cyberlaw
di Eropa
Council of Europe Convention on Cyber
Crime (Dewan Eropa Konvensi Cyber Crime),
yang
berlaku mulai pada bulan Juli 2004, adalah dewan yang membuat perjanjian internasional
untuk mengatasi kejahatan komputer dan kejahatan internet yang dapat menyelaraskan
hukum nasional, meningkatkan teknik investigasi dan meningkatkan kerjasama
internasional. berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI)
pada intinya memuat perumusan tindak pidana. Council of Europe Convention on
Cyber Crime ini juga terbuka untuk penandatanganan oleh negara-negara non-Eropa
dan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama internasional dalam bidang ini.
Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan yang dilakukan
lewat internet dan jaringan komputer lainnya, terutama yang berhubungan dengan
pelanggaran hak cipta, yang berhubungan dengan penipuan komputer, pornografi anak
dan pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi serangkaian kekuatan dan
prosedur seperti pencarian jaringan komputer dan intersepsi sah. Tujuan utama
adanya konvensi ini adalah untuk membuat kebijakan kriminal umum yang ditujukan
untuk perlindungan masyarakat terhadap Cyber Crime melalui harmonisasi
legalisasi nasional, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan
peningkatan kerjasama internasional. Selain itu konvensi ini bertujuan terutama
untuk:
Ø
Harmonisasi unsur-unsur hukum domestik
pidana substantif dari pelanggaran dan ketentuan yang terhubung di bidang
kejahatan cyber.
Ø
Menyediakan form untuk kekuatan hukum
domestik acara pidana yang diperlukan untuk investigasi dan penuntutan tindak
pidana tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan menggunakan
sistem komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk elektronik
Ø Mendirikan
cepat dan efektif rezim kerjasama internasional.
Council
of Europe Convention on Cybercrime Merupakan Organisasi yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia Internasional. Organisasi ini
dapat memantau semua pelanggaran yang ada di seluruh dunia. Jadi perbedaan dari
ketiga peraturan tersebut adalah sampai di mana jarak aturan itu berlaku. Cyberlaw
berlaku hanya berlaku di Negara masing-masing yang memiliki Cyberlaw, Computer
Crime Law (CCA) hanya berlaku kepada pelaku kejahatan cybercrime yang berada di
Negara Malaysia dan Council of Europe Convention on Cybercrime berlaku kepada
pelaku kejahatan cybercrime yang ada di seluruh dunia.
3.
Cyberlaw
di Amerika
Cyberlaw yang mengatur transaksi
elektronik dikenal dengan uniform
electronic transaction act (UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa
Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh national conference of commissioners on
uniform state laws (NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto
Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri.
Tujuan menyeluruhnya untukk membawa ke jalur
hukum negara bagian yang berbeda atas bidang-bidang seperti retensi
dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung
keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layakk. UETA 1999
membahas diantaranya mengenai:
Pasal
5 : mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan eletronik
Pasal
7 : memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan eletronk,
dan kontrak elektronik.
Pasal
8 : mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
Pasal
9 : membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan
elektronik.
Pasal
10 : menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen
elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
Pasal
11 : memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk
bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan
cap/segel.
Pasal 12
: menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan
dokumen
elektronik.
Pasal 13
: dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat
dikecualikan
hanya
karena dalam bentuk elektronik”
Pasal 14
: mengatur mengenai transaksi otomatis.
Pasal 15
: mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
Pasal 16
: mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.
Undang-Undang
Lainnya :
•
Electronic Signatures in Global and
National Commerce Act
•
Uniform Computer Information Transaction
Act
•
Government Paperwork Elimination Act
•
Electronic Communication Privacy Act
•
Privacy Protection Act
•
Fair Credit Reporting Act
•
Right to Financial Privacy Act
•
Computer Fraud and Abuse Act
•
Anti-cyber squatting consumer protection
Act
•
Child online protection Act
•
Children’s online privacy protection Act
•
Economic espionage Act
•
“No Electronic Theft” Act.
Undang-Undang
Khusus :
•
Computer Fraud and Abuse Act (CFAA)
•
Credit Card Fraud Act
•
Electronic Communication Privacy Act
(ECPA)
•
Digital Perfomance Right in Sound
Recording Act
•
Ellectronic Fund Transfer Act
•
Uniform Commercial Code Governance of
Electronic Funds Transfer
•
Federal Cable Communication Policy
•
Video Privacy Protection Act
Undang-Undang
Sisipan :
•
Arms Export Control Act
•
Copyright Act, 1909, 1976
•
Code of Federal Regulations of Indecent
Telephone Message Services
•
Privacy Act of 1974
•
Statute of Frauds
•
Federal Trade Commision Act
•
Uniform Deceptive Trade Practices Act
Kesimpulan:
Dari
tiga benua yang dibandingkan, yang memiliki cyberlaw
paling banyak untuk saat ini adalah Asia adalah Indonesia, tetapi yang
memiliki cyberlaw yang terlengkap
adalah Amerika. Untuk benua Amerika dan Eropa hukumnya sudah dalam tahap
perencanaan sedangkan di Indonesia masih belum.
Referensi:
1. Dewi Anggraini, http://dewi_anggraini.staff.gunadarma.ac.id/
2. Ega Hegarini, http://ega.staff.gunadarma.ac.id/
3. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/05/peraturan-dan-regulasi-bagian-1/
Materi
berikutnya:
Undang-undang Hak Cipta di Indonesia dan Hubungan dengan EtikaProfesonalisme
No comments:
Post a Comment