Sekolah itu bukan soal lulus ujian, tetapi soal belajar mengembangkan keistimewaan diri. Setuju?
Apakah benar pendidikan kita itu membutuhkan UN? bukannya
pendidikan itu lebih butuh 'ikan' ketimbang 'UN'? Tanpa'ikan' pendidikan
hanyalah 'pendid'. Sangat menggantung maknanya. Nggak selesai. Nggak lulus!.
Tentu bukan atas pemikiran itu keberlangsungan UN
dipertanyakan. Tapi karena UN ternyata menimbulkan banyak polemik. Dari tahun
ke tahun penyelenggaraan UN nggak pernah beres. Soal ujian yang telat sampai,
kebocoran soal UN, serta cerita siswa cerdas dan potensial yang gagal UN adalah
rombongan cerita yang nggak pernah lepas dari UN di tahun ke tahun.
Di hari peringatan perjuangan pendidikan 2 Mei 2014 ini,
mari kita renungkan, apakah UN masih layak untuk dipertahankan mengingat
permasalahan ini terjadi.
Standarisasi Potensi dan Nggak Memperhatikan Keistimewaan
Siswa
Ki Hajar Dewantara pernah berkata "Anak-anak hidup dan
tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbunya
kodrat itu."
Gue setuju banget dengan apa yang disebut beliau. Gue yakin,
kita pasti punya potensi tersendiri di suatu bidang dan mungkin lemah di bidang
lainnya. Itu sangat wajar. Ada anak yang jago olahraga tapi lemah di pelajaran
sosial. Itu wajar kan? Karena ada UN, semua anak seolah dipaksa untuk menguasai
semua bidang.
Sekeren apa pun temen kita bermusik, setinggi apa pun
prestasi teman kita di olimpiade, sejago apa pun temen kita main basket,
ngelukis, berdebat, marawisan atau nge-dance, kalau dia nggak lulus UN, ya
nggak luluslah ia dari sekolah.
Ya, sekolah di Indonesia bukan kayak akademi mutan di film X
Men First Class yang sangat membebaskan dan membimbing kita untuk
mengembangkan kemampuan kita sendiri.
UN Minded Generation
Permasalahan satu ini nggak kalah parah sih. Orientasi kita
sekolah adalah untuk lulus UN. Setelah lulus, nilai UN seorang siswa pun
melekat menjadi identitas anak tersebut. Semakin tinggi nilainya, semakin
bangga dan dibanggakannya dia.
Udah gitu, orientasi kita sekolah adalah kuantitas. Bukan
kualitas. Nggak heran deh kalau orangtua pun jadinya lebih mendorong kita untuk
ikutan bimbel ketimbang les musik, kursus desain, atau ikutan komunitas pecinta
alam.
Menurut Khresna Aditya, seorang aktivis pendidikan di petisi
yang dibuatnya di Change.org, UN membuat mata pelajaran jadi berkasta, udah
gitu, sekolah pun jadi sekadar kayak bimbingan tes. Bukan wadah pengembangan
bakat dan potensi diri.
Gue setuju soal kastanisasi mata pelajaran itu. Coba inget-inget
aja, semakin susah pelajaran tersebut maka ia akan didewakan bukan? bisa jadi
karena itulah, jurusan eksakta yang mensyaratkan kemampuan berhitung, jadi
diunggulkan dibanding jurusan sosial. Anak yang nggak jago matematika jadi
dianggap rendah. Apalagi jurusan eksakta memberi peluang siswanya untuk memilih
jurusan apa pun nanti di perkuliahan. Sementara jurusan sosial dan bahasa
terbatas pilihannya.
Kecurangan terus terjadi
Pemerintah memang andal dalam menetapkan aturan. Tipe soal
dibeda-bedakan, bahkan konon ada 20 jenis soal untuk satu mata pelajaran.
Tingkat kesulitannya juga ditingkatkan. Katanya sih demi meninggkatkan standar
kelulusan siswa.
Maksudnya baik memang. Tapi pengaturan sistem pendidikan itu
nggak jauh beda sama pengaturan sistem lalu lintas. Untuk mengurangi kemacetan,
pemerintah Jakarta menetapkan sistem three in one. Tapi di sisi lain pemerintah
membiarkan keberadaan joki-joki three in one. Bukan malah memperbaiki
infrastruktur angkutan umumnya dari dulu, bukan membatasi produksi kendaraan
pribadi. Begitu juga dalam UN, kecurangan dan kebocoran soal seolah
dibiarkan. Siswa dan orangtua murid yang ketakutan dengan soal UN pun jadi
terbiasa mengambil jalan pintas dengan mencari joki mencari bocoran soal atau
lebih parah lagi mencari tempat bimbel yang menjamin pesertanya lulus,
bagaimana pun caranya.
Kalau udah kayak gini, UN yang sebenarnya dibuat untuk
ningkatin semangat belajar malah kehilangan esensinya kan?
Tentu, tulisan ini bukan ditujukan untuk merendahkan
pentingnya belajar. Sampai kapan pun belajar dan pendidikan adalah penting.
Apalah artinya manusia kalau nggak punya pengetahuan dan nggak bisa
mengolahnya.
Gue yakin kalian pada paham kan esensi pendidikan dan
sekolah. Ingatlah selalu, kita pakai helm bukan karena takut ditilang polisi,
tetapi agar selamat dari celaka. Kita sekolah pun bukan untuk bersaing
tinggi-tinggian nilai UN, melainkan untuk belajar dan mengembangkan bakat,
potensi dan keistimewaan diri kita yang positif tentunya. Jangan sampai sistem
pendidikan membuat kita lupa esensi pendidikan itu.
Menurut temen-temen gimana? Setujukah UN di lanjutkan? atau
mending dihapuskan saja? lantas pengganti UN itu cocoknya apa? Setuju nggak
kalau untuk lulus, tiap siswa diminta unutk membuat tugas akhir sesuai dengan
minatnya? sejenis skripsi gitu. Tolong jawab di bagian komentar yaa..
O ya, ada sebuah petisi penting tentang penolakan UN. Kalau
kamu tertarik dan setuju, ikutan bersuara yuk. Demi pendidikan yang lebih baik
dan seru pastinya.
Sumber : www.provoke-online.com | Saat
Nilai Salah Berbicara : http://on.fb.me/1i4HsnL
No comments:
Post a Comment