Seseorang
yang menguasai banyak kosa kata dapat menyampaikan gagasannya dengan baik.
Namun, akan lebih baik jika dalam mengungkapkan gagasannya, ia dapat memilih
atau menempatkan kata secara tepat dan sesuai. Diksi (pilihan kata) pada
dasarnya adalah hasil dari upaya memilih kata
tertentu untuk dipakai dalam kalimat, alinea, atau wacana. Pemilihan kata akan dapat dilakukan bila tersedia sejumlah kata yang artinya hamper sama atau bermiripan. Keteapatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata yang dapat menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar. Untuk itu, agar gagasan-gagasan tersebut dapat dengan tepat ada pada imajinasi pembaca atau pendengar, ketersediaan kata yang dimiliki oleh seorang penulis mutlak diperlukan yaitu berupa perbendaharaan kata yang memadai, seakan-akan ia memiliki daftar kata.
tertentu untuk dipakai dalam kalimat, alinea, atau wacana. Pemilihan kata akan dapat dilakukan bila tersedia sejumlah kata yang artinya hamper sama atau bermiripan. Keteapatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata yang dapat menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar. Untuk itu, agar gagasan-gagasan tersebut dapat dengan tepat ada pada imajinasi pembaca atau pendengar, ketersediaan kata yang dimiliki oleh seorang penulis mutlak diperlukan yaitu berupa perbendaharaan kata yang memadai, seakan-akan ia memiliki daftar kata.
A. Pengantar
Sudah kita ketahui bahwa dalam bahasa Indonesia ada kata dasar dan kata
bentukan. Kata dasar disusun menjadi kata bentukan melalui tiga macam proses pembentukan,
yaitu:
(1) afiksasi atau pengimbuhan;
(2) reduplikasi atau pengulangan;
(3)
komposisi atau pemajemukan.
Kita juga sudah mengenal adanya imbuhan atau afiks
yang meliputi prefiks atau awalan, sufiks atau akhiran, dan infiks atau
sisipan. Infiks sebenarnya tidak begitu penting dalam bahasa Indonesia,
tetapi dalam pembentukkan istilah infiks-in yang berasal dari Jawa sering juga
dipakai.
Menurut FPBS (1994 :19), pembentukan kata dengan menggunakan awalan dan
akhiran dalam bahasa Indonesia sudah banyak dikenal oleh para mahasiswa. Namun
demikian sering juga kita jumpai kata-kata yang bentuknya tidak tepat atau
salah.
Perhatikan contoh pemakaian kata bercetak miring pada teks berikut!
Pergaulan hidup yang berdeferensiasi berarti pergaulan hidup terbagi
atas sektor-sektor dimana tiap khusus tertuju pada pelaksanaan salah satu
fungsi yang telah disebut itu.
Kata berdeferensiasi dalam kalimat tersebut digunakan secara
salah. Kata yang lebh sesuai adalah berbeda-beda karena kata deferensiasi
bukanlah anggota kosa kata baku
bahasa Indonesia
walaupun maknanya sama dengan kata berbeda-beda.
Contoh-contoh lain dapat diamati pada
kalimat-kalimat di bawah ini. Perhatikan kata-kata yang bercetak miring!
1. Usaha kami selama ini memang profitable sehingga
kami dapat menghidupi karyawan.
2. Semua ilmuwan sangat besar atensinya terhadap
penemuan Andi.
Jika diperhatikan konteks dan acuan kata-kata bercetak miring tersebut
tampak bahwa bentukan kata-kata itu tidak tepat. Akan lebih tepat jika kata perubahan
diganti dengan ubahan, kata pemerian diganti dengan perian,
dan kata tabrakan diganti dengan bertabrakan. Alasannya sudah
jelas. Hasil mengubah adalah ubahan, yang diperikan adalah perian,
bukan pemerian, bentukan tabrakan merupakan bentukan yang tidak baku. (FPBS : 1994 :38).
B. Imbuhan dari bahasa asing
Yang perlu kita pelajari ialah adanya imbuhan yang berasal dari bahasa
asing yang kadang juga dikenakan pada kata dasar bahasa Indonesia.
Kata-kata asing yang diserap dalam bahasa Indonesia itu pada dasarnya kita
pandang sebagai kata dasar. Namun demikian bentuk-bentuk kata asing itu
bermacam-macam, sehingga memungkinkan kita untuk menganalisis bentuk-bentuk
tersebut dan menemukan awalan atau akhirannya. Kita mengenal kata-kata objek, objektif, objektivitas, objektivisme,
objektivisasi. Dari bentuk tersebut kita menemukan kata dasar objek, akhiran –if, itas, -isme, -isasi. Di samping kata moral atau sosial kita
kenal adanya amoral, atau asosial. Di samping kata evaluasi kita mengenal devaluasi, di samping regulasi kita mengenal deregulasi, di samping harmoni kita mengenal disharmoni, di samping integrasi kita mengenal disintegrasi. Demikianlah kita mengenal
adanya awalan a-, de-, dis-.
- Awalan
Awalan-awalan pada kata-kata serapan yang disadari adanya, juga oleh
penutur yang bukan dwibahasawan, adalah sebagai berikut:
- a- seperti pada amoral, asosial, anonym, asimetris. Awalan ini mengandung arti ‘tidak’ atau ‘tidak ber’;
- anti- seperti pada antikomunis, antipemerintah, antiklimaks, antimagnet, antikarat yang artinya ‘melawan’ atau ‘bertentangan dengan’;
- bi- misalnya pada bilateral, biseksual, bilingual, bikonveks. Awalan ini artinya ‘dua’;
- de- seperti pada dehidrasi, devaluasi, dehumanisasi, deregulasi. Awalan ini artinya ‘meniadakan’ atau ‘menghilangkan’;
- eks- seperti pada eks-prajurit, eks-presiden, eks-karyawan, eks-partai terlarang. Awalan ini artinya ‘bekas’ yang sekarang dinyatakan dengan kata ‘mantan’.
- ekstra- seperti pada ekstra-universiter, ekstra-terestrial, ekstra linguistic, kadang juga dipakai pada kata-kata bahasa Indonesia sendiri. Contoh: ekstra-ketat, ekstra-hati-hati. Awalan ini artinya ‘tambah’, ‘diluar’, atau ‘sangat’;
- hiper- misalnya pada hipertensi, hiperseksual, hipersensitif. Awalan ini artinya ‘lebih’ atau ‘sangat’;
- in- misalnya pada kata inkonvensional, inaktif, intransitive. Awalan ini artinya ‘tidak’;
- infra- misalnya pada infrastruktur, inframerah, infrasonic. Awalan ini artinya ‘di tengah’;
- intra- misalnya pada intrauniversiter, intramolekuler. Awalan ini artinya ‘di dalam’;
- inter- misalnya interdental, internasional, interisuler, yang biasa di Indonesiakan dengan antar-;
- ko- misalnya pada kokulikuler, koinsidental, kopilot, kopromotor. Awalan ini artinya ‘bersama-sama’ atau ‘beserta’;
- kontra- misalnya pada kontrarevolusi, kontradiksi, kontrasepsi. Awalan ini artinya ‘berlawanan’ atau ‘menentang’;
- makro- misalnya pada makrokosmos, makroekonomi, makrolinguistik. Awalan ini artinya ‘besar’ atau ‘dalam arti luas’;
- mikro- seperti pada mikroorganisme, mikrokosmos, microfilm. Awalan ini artinya ‘kecil’ atau ‘renik’;
- multi- seperti pada multipartai, multijutawan, multikompleks, multilateral, multilingual. Awalan ini artinya ‘banyak’;
- neo- seperti pada neokolonialisme, neofeodalisme, neorealisme. Awalan ini artinya ‘baru’;
- non- seperti pada nongelar, nonminyak, nonmigas, nonberas, nonOpec. Awalan ini artinya ‘bukan’ atau ‘tidak ber-‘.
2. Akhiran
Pada kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia kita jumpai
akhiran-akhiran seperti berikut:
- –al misalnya pada actual, structural, emosional, intelektual. Kata-kata yang berakhiran –al ini tergolong kata sifat;
- –asi/isasi misalnya pada afiksasi, konfirmasi, nasionalisasi, kaderisasi, komputerisasi. Akhiran tersebut menyatakan ‘proses menjadikan’ atau ‘penambahan’;
- –asme misalnya pada pleonasme, aktualisme, sarkasme, antusiasme. Akhiran ini menyatakan kata benda;
- –er seperti pada primer, sekunder, arbitrer, elementer. Akhiran ini menyatakan sifat;
- –et seperti pada operet, mayoret, sigaret, novelete. Akhiran ini menyatakan pengertian ‘kecil’. Jadi operet itu ‘opera kecil’, novelet itu ‘novel kecil’;
- –i/wi/iah misalnya pada hakiki, maknawi, asasi, asali, duniawi, gerejani, insani, harfiah, unsuriyah, wujudiyah. Akhiran-akhiran ini menyatakan sifat;
- –if misalnya pada aktif, transitif, obyektif, agentif, naratif. Akhiran ini menyatakan sifat;
- –ik 1 seperti pada linguistic, statistic, semantic, dedaktik. Akhiran ini menyatakan ‘benda’ dalam arti ‘bidang ilmu’;
-ik 2 seperti pada spesifik, unik, karakteristik, fanatic, otentik. Akhiran ini
menyatakan sifat;
- -il seperti pada idiil, materiil, moril. Akhiran ini menyatakan sifat. Pada kata-kata lain kata-kata ini diganti dengan –al;
- –is 1 pada kata praktis, ekonomis, yuridis, praktis, legendaries, apatis. Akhiran ini menyatakan sifat;
-is 2 pada kata ateis, novelis, sukarnois, Marxis, prosaic, esei. Akhiran ini
menyatakan orang yang mempunyai faham seperti disebut dalam kata dasar, atau
orang yang ahli menulis dalam bentuk seperti yang disebut di dalam kata dasar;
- -isme seperti pada nasionalisme, patriotisme, Hinduisme, bapakisme. Isme artinya ‘faham’;
- –logi seperti pada filologi, sosiologi, etimologi, kelirumologi, -logi artinya ‘ilmu’;
- –ir seperti pada mariner, avonturir, banker. Akhiran ini menyatakan orang yang bekerja pada bidang atau orang yang mempunyai kegemaran ber-;
- –or seperti pada editor, operator, deklamator, noderator. Akhiran ini artinya orang yang bertindak sebagai orang yang mempunyai kepandaian seperti yang tersebut pada kata dasar;
- –ur seperti pada donator, redaktur, kondektur, debitur, direktur. Akhiran ini seperti yang di atas menyatakan agentif atau pelaku;
- –itas seperti pada aktualitas, objektivitas, universitas, produktivitas. Akhiran ini menyatakan benda.
C. Upaya Pengindonesiaan
Awalan dan akhiran di atas berdasarkan maknanya dapat dibeda-bedakan
menjadi beberapa kelompok. Ada imbuhan yang membentuk kata benda, ada imbuhan
yang membentuk kata sifat. Beberapa awalan dapat digolongkan sebagai menyatakan
pengertian negative, yaitu awalan a-,
in-, non-, dis- dan beberapa awalan lain yang tak tercantum dalam daftar di
atas seperti ab-, im-, il- dan
akhiran –less, yang artinya ‘tidak,
bukan, tanpa, atau tidak ber’.
Kata sifat bentuk dengan penambahan akhiran –al, er-, if-, dan –ik. Di samping itu dapat juga digunakan akhiran
dari bahasa Arab –i/-wi/-iah yang
tidak lagi terasa akhiran asing dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia
sendiri tidak banyak afiks pembentuk kata sifat, seperti yang disebut oleh
Fokker (1960:139) bahwa bahasa Indonesia miskin susunan ajektivis.
Dalam bahasa Indonesia kedudukan kata dalam satuan sintaksis yang lebih
besar menentukan sifat hubungannya dengan kata lain. Kata benda kayu dapat mensifatkan kata lain seperti
halnya kata sifat bagus. Seperti hanya bagus pada meja bagus, kayu, juga mensifatkan meja pada meja kayu. Dalam
bahasa Indonesia kata kayu tidak
mengalami perubahan bentuk, dan semata-mata posisinya dalam satuan sintaksis
yang menempatkannya sebagai atribut.
Menurut kaidah bahasa Indonesia barangkali kata morfologi atau akademi
tidak perlu berubah apabila berpindah posisinya, misalnya pada morfologi bahasa Indonesia dan proses morfologi, serta akademi bahasa Indonesia dan pembantu dekan bidang akademi. Urusan akademi dan urusan akademis maknanya berbeda; yang pertama menyatakan hubungan kemilikan yang kedua hubungan kesifatan. Tetapi hubungan makna itu
barangkali baru timbul setelah bahasa Indonesia menyerap kata-kata asing yang
berbeda bentuknya itu.
Untuk menegaskan perbedaan hubungan makna itu, untuk kata-kata dalam
bahasa Indonesia sendiri digunakan konfiks ke-an,
contohnya: sifat ibu dan sifat keibuan, uang negara dan kunjungan
kenegaraan.
Yang sering menimbulkan keraguan ialah penggunaan akhiran –is dan –ik. Mana yang betul: akademis
atau akademik, endosentris atau endosentrik? Akhiran –is diserap dari bahasa Belanda –isch, sedang –ik dari bahasa Inggris –ic
atau –ical. Sementara itu akhiran –ik diserap jujga dari akhiran –ics dari bahasa Inggris yang menandai
kata benda, seperti: statistic,
linguistic, semantic, fonetik. Seperti yang digariskan di dalam Pedoman Pembentukan Istilah, mengingat
akhiran –ik banyak digunakan untuk
menandai kata benda (statistic, linguistic, semantic, logistic, dan
sebagainya) untuk kata sifat hendaknya digunakan –is, kecuali pada kata-kata: simpatik,
unik, alergik, spesifik, karakteristik, analgesik.
Akhiran yang berasal dari bahasa Arab, yang terasa lebih bersifat
Indonesia, dapat digunakan untuk menerjemahkan kata-kata asing, misalnya penalaran mantiki (logika reasoning),
antropologi ragawi (physical anthropology), makhluk surgawi (devine being),
terjemahan harfiah (letteral translation) dan sebagainya.
Di samping itu, untuk menyatakan pengertian seperti yang dinyatakan oleh
bentukan-bentukan dalam bahasa asing, dalaml bahasa Indonesia sendiri digali
imbuhan atau kata-kata yang diharapkan dapat menjadi padanan bentukan-bentukan
dalam bahasa asing (Johannes, 1982 dan 1983, dan dalam Moeliono dan
Dardjowidjojo (Eds.), 1988:431). Daftar afiks, morfem, atau kata tersebut
adalah sebagai berikut.
1. adi- seperti pada: adidaya (super power), adikodrati (super natural), adikarya (masterpiece), adibusana (high fashion), adimarga (boulevard);
2. alih seperti
pada: alih aksara (transliteration),
alih tulis (transcript), alih
teknologi (transfer of technology), alih bahasa (translate);
3. antar- seperti
pada: antarbangsa (internasional),
antarnusa (interinsuler),
antarbenua (intercontinental), antardepartemen (interdepartmental);
4. awa- pada: awahama (disinfect), awabau (deodorize),
awahubung (disconnect), awawarna (discolor),
pengawasan (disimilasi);
5. bak- pada
bakruang (space-like), bakelektron (electron-like), bakintan
(adamantine), bakagar (galantineous);
6. dur- pada:
durjana (evildoer), dursila (immoral), durkarsa (malevolence,
malice),
durhaka (sinful);
7. lepas pada:
lepas landas (takeoff), lepas pantai (offshore);
8. lir- pada: lirkaca (glassy) liragar (galantineous) liritan (adamantine)
sang lir sari ‘yang seperti bunga’;
9. maha- pada: maharaja (kaisar, raja besar), mahaguru (guru
besar), mahasiswa, Maha Esa, Mahaadil, Mahakuasa, Maha Pemurah;
10. mala- pada: malagizi (malnutrition), malabentuk (malformation),
malakelola
(mismanage), malapraktik (malpractice);
11. nara pada: narasumber (resource person), narapidana (convicted),
narapraja
(pegawai pemerintah), nararya (nonbleman);
12. nir- pada: nirnoda (stainless), nirnyawa (inanimate),
niraksara (illiterate),
nirgelar (non-degree), niranta (infinite);
13. pasca- pada: pascapanen (postharvest), pascasarjana (postgraduate),
pascadoktor (postdoctoral), pascaperang (postwar);
14. peri- pada:
perijam (clookwise), periujung (endwise), perkipas (fanwise),
peridolar (dollarwise);
15. pra- pada: prasejarah (prehistory), prakira (forecast),
pratinjau (preview),
prakata (foreword, preface);
16. pramu- pada: pramugari (stewardes), pramuwisata (tourist
guide), pramuria (hostess),
pramusiwi (babysitter);
17. purna- pada: purnawaktu (fulltime), purnakarya (pekerjaan
yang telah dilakukan dengan baik), purnakaryawan (pensiunan pegawai negeri), purnawirawan (pensiunan ABRI);
18. rupa pada: rupa bola (speroid), rupa tangga (scalariform),
rupa baji (cuneiform)
19. salah pada: salah cetak (misprint), salah hitung (miscalculate),
salah ucap
(misspel), salah paham (misunderstanding);
20. serba- pada:
serbasama (homogeneous), serbabisa (all-round), serbaguna
(multipurpose), serbaneka (multivarious), serbacuaca (all-weather);
21. su- pada: sujana (orang baik lawannya durjana), susastra (sastra yang baik, indah), suganda (bau yang harum), sukarsa (good-will),
sudarma (darma yang baik);
22. swa- pada: swakarsa (kemauan sendiri), swasembada (dapat
memenuhi kebutu han sendiri),
swadaya (kekuatan sendiri), swakelola
(dikelola sendiri), swapraja (daerah otonom);
23. tan- pada tanlogam (non-metal), tansuku (non-syllabic),
tanvokoid
(non-vokoid),
tanorganik (anorganic, inorganic);
24. tak- pada: taksosial (asocial), taknormal (abnormal),
taksah (illegal), takhidup (nonliving), takmurni (impure);
25. tata pada:
tata bahasa, tata hokum, tata kalimat, tata nama;
26. tuna- pada:
tunakarya, tunawisma, tunasusila, tunanetra;
27. sisipan
–in- pada: tinambah (addent), kinurang (subtrahend), binagi (dividend),
minantu (son-in-low), linambang (sign);
28. sisipan
–em- pada: gemaung (echoic), gemetar (tremulous), timambah (additive),
temerang (shiny).
29. awalan
bilangan eka pada: ekaprasetyaj,
ekasila; dwi- pada: dwiwarna,
dwipihak; tri- pada: tridarma,
triratna, tritunggal; catur- pada:
caturwarga; panca- pada: pancamarga,
pancasila; sad- pada: sadpada; sapta- pada:
saptaprasetya, saptamarga; hasta-
pada: hastabrata; nawa- pada:
nawaaksara; dasa- pada: dasasila;
30. akhiran –wan/-man/-wati
Akhiran –wan ditambahkan pada
kata-kata benda yang berakhir dengan vokal a seperti pada gunawan, bangsawan, hartawan, negarawan, sastrawan dan sebagainya.
Untuk kata-kata yang terakhir dengan vocal I atau u dulu digunakan akhiran –man seperti pada seniman, budiman, dan Hanuman. Sekarang varian –man sudah tidak produktif lagi, akhiran –wan digunakan juga untuk kata benda yang tidak berakhir dengan
vokal a, contohnya rokhaniwan, bahariwan,
ilmuwan. Kadang ada kecenderungan untuk menambahkan vokal a pada kata yang
berakhir dengan vokal i, misalnya industriawan.
Dengan alat-alat ketatabahasaan di atas diharapkan bahwa bahasa Indonesia
menjadi lebih luwes dalam menyatakan kembali berbagai konsep dalam berbagai
bidang ilmu yang berasal dari Barat. Kemampuan untuk menyerap berbagai gagasan
dari Barat dan mengungkapkannya kembali dalam bahasa Indonesia, diharapkan
semakin meningkat. Kata-kata asing tidak kita pungut begitu saja, melainkan
diusahakan agar dapat dinyatakan dengan kata-kata yang lebih bersifat
Indonesia.
Kembali kepada sarana morfologi untuk menyatakan pengertian ‘negatif’
seperti yang dikemukakan pada awal subbab ini. Dari penggalian potensi yang ada
pada bahasa Indonesia sendiri disarankan penggunaan awalan nir-, tan-, tak dan tuna. Dari pengamatan sekilas kelihatan bahwa
penggunaan non- masih tetap lebih
tinggi kekerapannya daripada awalan dalam bahasa Indonesia sendiri yang
diusulkan. Awalan non- kita jumpai
pada: non-gelar, non-Opec, non-beras,
non-minyak, non-Jawa, non-pribumi, non-Barat, non-Islam dan
sebagainya.Awalan nir- dan tan- jarang dijumpai. Sementara awalan tuna- memang agak produktif, seperti
pada: tunadaksa, tunagrahita, tunaaksara.
Akhiran-akhiran –is seperti
pada linguis, novelis; -ir seperti banker, mariner; -or seperti pada koruptor,
senator; -ur seperti pada direktur,
redaktur; menyatakan pelaku atau orang yang mempunyai pekerjaan atau
keahlian dalam bidang tertentu. Begitu juga akhiran –us pada kritikus, teknikus,
musikus, teoritikus, politikus, akademikus, yang jamaknya ditandai dengan
akhiran –si; kritisi, teknisi, teoritisi,
musisi, politisi, akademisi.
Dalam bahasa Indonesia ada awalan pe-
dan pem- di samping akhiran –wan/-wati seperti yang disebutkan di
atas. Beberapa kata asing memang dapat lebih diindonesiakan dengan akhiran –wan, misalnya: politikus/politisi menjadi negarawan,
linguis menjadi ilmu bahasawan, grammarian
menjadi tata bahasawan, librarian
menjadi pustakawan.
Pembedaan tunggal-jamak seperti pada politikus
dan politisi, kriterium dan criteria, datum dan data, unsur dan anasir
tidak begitu diperhatikan dalam bahasa Indonesia. Memang sesudah terserap dalam
bahasa Indonesia kata-kata itu tentu saja tidak perlu tunduk pada kaidah bahasa
aslinya. Kalau politisi, criteria, data dan unsur yang lebih banyak dipakai boleh saja untuk menyatakan jamak
kata itu diulang menjadi politisi-politisi,
kriteria-kriteria, data-data atau unsur-unsur.
Begitu juga kalau dalam suatu upacara penguburan seorang yang memberikan
sambutan mengajak para hadirin berdoa agar arwah almarhumah diberi tempat yang
layak di sisi Tuhan.
Awalan peng- tidak dapat
bersaing dengan awalan-awalan tersebut di atas, juga dengan akhiran –wan/-wati. Kata benda berawalan peng- diturunkan dari kata kerja; menjahit – penjahit, mengarang – pengarang,
melempar – pelempar. Bentuk pirsawan yang diturunkan dari pirsa ‘melihat’
dipandang tidak tepat dan diganti dengan pemirsa. Awalan peng- diturunkan dari kata kerja berawalan meng-, sedang variannya yang tidak mengandung sengauan diturunkan
dari kata kerja berawalan ber. Adanya
bentuk-bentuk pecatur, pegolf, pebowling,
pejudo, pesilat, petenis, barangkali diturunkan dari bermain catur, golf,
tenes, dan sebagainya.
Akhiran –asi atau –isasi sangat produktif, sampai-sampai
kata-kata dalam bahasa Indonesia sendiri ada yang mendapat akhiran tersebut.
Contohnya: turinisasi, lamtoronisasi,
komporisasi, pompanisasi, randuisasi. Kata-kata bentukan dengan akhiran
semacam ini sebenarnya dapat dinyatakan dengan konfiks peng – an misalnya penasionalan
untuk nasionalisasi, pembaratan untuk westernisasi, pengintensifan
untuk intensifikasi, pengonkretan
untuk konkretisasi, pembabakan untuk periodisasi. Namun bentukan dengan –sasi atau –isasi tetap produktif dan banyak digunakan dalam bidang ilmu.
Hal yang sama berlaku untuk beberapa bentukan dengan akhiran –itas dengan konfiks ke–an seperti: objektivitas dengan keobjektifan,
aktualitas dengan keaktualan, sportivitas
dengan kesportifan, agresivitas
dengan keagresifan, elastisitas
dengan keelastisan, kompleksitas
dengan kekompleksan.
Kata mantan, meskipun cakupan
maknanya tidak seluas –eks, dalam
beberapa pemakaian dapat menggantikan kata tersebut. Semacam awalan bak- dan lir- mempunyai arti yang sama dan rupanya sengaja ditawarkan mana
yang dipilih diantara dua bentuk itu. Awalan dur- dan lawannya su-
juga belum diterima dan dipergunakan oleh para penutur. Mengenai pasca- dan purna- kedua awalan itu kadang dikacaukan. Ada pelayanan pascajual dan pelayanan purnajual. Yang betul ialah pascajual. Pasca- adalah lawannya pra-, purna- tidak hanya menyatakan
pengertian ‘selesai’ atau ‘sesudah’, melainkan juga ‘penuh; baik, atau
berhasil’. Purnakaryawan ialah
karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik sampai pensiun.
D. Pembentukan Lebih Lanjut
Yang dimaksud pembentukan lebih lanjut ialah pembentukan kata turunan
melalui proses morfologi bahasa Indonesia dengan kata-kata serapan sebagai
bentuk dasarnya. Kata-kata serapan, sebagai warga kosakata bahasa Indonesia,
juga dapat mengalami proses pembentukan sebagaimana warga kosakata yang lain.
Proses pembentukan itu ada tiga macam, yaitu pengimbuhan, pengulangan, dan
pemajemukan. Dalam kaitannya dengan unsur serapan, pembicaraan hanya menyangkut
pengimbuhan, karena dalam pengulangan dan pemajemukan tidak ada yang perlu
dibicarakan.
Pembicaraan mengenai pembentukan lebih lanjut sebenarnya sudah dimulai
ketika dibicarakan konfiks peng–an
dan ke-an dengan unsure serapan sebagai
kata dasarnya. Begitu juga waktu dibicarakan pengulangan kata ‘data’ ‘
politisi’, dan ‘arwah’. Dalam kaitannya dengan penambahan awalan meng-, peng- dan peng–an perlu diamati apakah kata dasar yang berupa kata serapan
itu diperlakukan sama atau berbeda dengan kata-kata yang lebih asli. Juga
mengingat bahwa unsur-unsur serapan itu ada yang diawali dengan gugus konsonan.
Kata-kata yang diawali oleh konsonan hambatan tak bersuara /p/,/t/,/k/,
dan geseran apiko-alveolar /s/ jika mendapat awalan meng- atau peng- fonem
tersebut hilang atau luluh, contohnya: pukul
menjadi memukul dan pemukul, tolong menjadi menolong dan penolong, karang menjadi mengarang
dan pengarang, susun menjadi menyusun dan penyusun. Perlu dipertanyakan apakah hal yang sama juga dialami
oleh kata-kata serapan, dan bagaimana jika fonem-fonem awal tersebut membentuk
satu gugus dengan fonem-fonem yang lain.
Kata-kata serapan yang diawali dengan konsonan hambatan bilabial tak
bersuara /p/ contohnya: paket, parker,
potret, piket. Jika mendapat awalan meng-
dan peng- atau peng – an, kata-kata tersebut menjadi memaketkan, memarkir, memotret, dan memiketi; pemaketan, pemarkiran, pemotretan, pemiketan. Jadi
kata-kata serapan tersebut diperlakukan sama dengan kata-kata dalam bahasa
Indonesia yang lain.
Kata-kata serapan yang diawali dengan konsonan hambatan apiko – dental
tak bersuara /t/ contohnya: target,
teror, terjemah, telpon. Apabila dibentuk dengan awalan meng- menjadi menargetkan atau mentargetkan;
meneror atau menteror, menerjemahkan,
dan menelpon. Jika dibentuk dengan peng – an menjadi; penargetan atau pentargetan,
peneroran atau penteroran, penerjemahan,
dan penelponan. Bentukan menargetkan
dan penargetan, meneror dan peneroran agaknya masih belum berterima. Soal
keberterimaan itu rupanya ditentukan oleh tingkat keasingan (atau
keindonesiaan) kata serapan tersebut. Kata ‘tekel’ (dari tackle) tidak
berterima jika dibentuk menjadi menekel dan penekelan, yang berterima ialah men-tekel dan pen-tekel-an.
Agar dapat dibentuk sesuai dengan kaidah morfofonemik yang berlaku, kata
asing yang kemudian menjadi kata dasar itu harus sudah dikenal dengan baik.
Kata yang belum begitu dikenal apabila mengalami proses morfofonemis
menyebabkan orang sulit mengenal kata dasar dari suatu bentukan. Oleh karena itu,
untuk kata-kata yang belum dikenal, bukan saja konsonan awalnya tidak mengalami
peluluhan, melainkan juga diberi tanda hubung untuk mempertegas batas antara
kata dasar dengan unsur-unsur pembentukannya, seperti contoh di atas yaitu men-tekel dan pen-tekel-an.
Konsonan geseran labio-dental tak bersuara /f/ dulu disesuaikan dengan
system fonologi bahasa Indonesia menjadi /p/. Yang sudah disesuaikan menjadi
/p/ mengalami penghilangan atau luluh, sedang apabila tetap /f/ mendapat
sengauan yang homorgan, yaitu /m/. Contohnya: pikir menjadi memikirkan
dan pemikiran; fitnah menjadi memfitnah dan pemfitnahan.
Konsonan hambatan dorso-velar tak bersuara /k/ yang mengalami kata-kata katrol, kontak, konsep, dan keker luluh
apabila mendapat awalan meng- atau
konfiks peng-an seperti terlihat
pada: mengatrol dan pengatrolan, mengontak dan pengontakan,
mengonsep dan pengonsepan, mengeker dan
pengekeran.
Kata-kata serapan yang diawali dengan fonem geseran apiko-dental tak
bersuara /s/ ada yang mengalami peluluhan ada yang tidak. Kata-kata tersebut
contohnya: sample, setor, sekrup, setop.
Jika mendapat awalan meng- dan peng-an kata-kata tersebut menjadi menyampel dan penyampelan, menyetor dan penyetoran,
menyekrup dan penyekrupan, menyetop
dan penyetopan.
Seperti halnya pada unsur serapan yang lain, kata-kata yang masih terasa
asing mendapat perlakuan yang berbeda, contohnya pada kata “sinkrun” dan
“sistematis”, jika mendapat awalan meng-
dan peng-an menjadi mensinkrunkan dan pensinkrunan, mensistematiskan
dan pensistematisan.
Kata dasar serapan yang diawali oleh gugus konsonan /pr/ seperti pada protes, program, produksi, dan praktik,
jika mendapat awalan meng- /p/ tidak
luluh menjadi: memprotes, memprogram,
memproduksi, dan mempraktikkan.
Tetapi apabila mendapat konfiks peng-an
/p/-nya luluh menjadi: pemrotesan,
pemrograman, pemroduksian, dan pemraktikan.
Ini bukan perlakuan yang istimewa untuk unsur-unsur serapkan sebab hal yang
demikian itu kita lihat juga pada bentukan memperkirakan,
memprihatinkan.
Bagaimana dengan kata serapan yang diawali gugus konsonan /tr/, /kr/, dan
/st/? kata-kata serapan yang diawali dengan gugus /kr/ contohnya: kritik, kristal, kredit, kreatif
konsonan /k/-nya tidak hilang bila mendapat awalan meng- menjadi: mengkritik,
mengkristal, mengkristal dan mengkreatifkan.
Tetapi /k/ itu lebur apabila mendapat awalan peng- atau peng-an
menjadi: pengritikan dan pengritik, pengristalan dan pengreditan dan pengredit.
Kata-kata serapan yang diawali dengan gugus konsonan /tr/, /st/, /sk/,
/sp/, /pl/, /kl/, konsonan yang awalnya tidak pernah mengalami peleburan, baik
dalam pembentukan dengan awalan meng-,
peng-, maupun konfiks peng-an,
contohnya: mentraktir, pentraktir,
menstabilkan, penstabil, penstabilan; menskalakan, penskala, penskalaan; mensponsori,
pensponsor, pensponsoran; memplester, pemplester, pemplesteran; mengkliping,
pengkliping, pengklipingan.
Kata-kata serapan yang diawali oleh gugus konsonan yang terjadi atas tiga
fonem dan fonem yang pertama berupa hambatan atau geseran tak bersuara, kalau
ada, sudah tentu konsonan pertamanya tidak pernah lebur apabila mendapat awalan
meng- atau peng-.
Kata-kata serapan itu tentu saja juga dapat mengalami proses pengulangan
seperti pada: traktor-traktor,
computer-komputer dan sebagainya. Kata-kata serapan tidak dapat mengalami
perulangan sebagian yang berupa dwipurwa atau dwiwasana. Pada pengulangan
dengan awalan konsonan awal pada suku ulangannya juga tidak luluh, contohnya: mempraktis-praktisan, mengkritik-kritik,
menstabil-stabilkan.
E. Perhubungan antarmakna
Kata-kata biasanya mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini
mengakibatkan adanya berbagai perhubungan yang memperlihatkan kesamaan,
pertentangan, tumpang tindih, dan sebagainya.
Dalam hal ini para ahli semantik telah mengklasifikasikan perhubungan
makna itu ke dalam berbagai kategori, seperti sinonimi, polisemi,
hiponimi, antonimi dan sebagainya. Berikut akan dijelaskan beberapa kategori
yang penting dalam pembahasan semantik.
a.
Sinonimi
Dua buah kata yang
mempunyai kemiripan makna diantaranya disebut dua kata yang sinonim. Kata
perempuan yang mempunyai komponen makna manusia dewasa berkelamin perempuan
adalah sinonim dengan kata wanita. Keduanya mempunyai komponen makna yang sama.
Sekalipun kata perempuan dan wanita sulit dibedakan artinya namun di dalamnya
ternyata ada unsur emotif yang membedakannya. Kata perempuan merupakan kata
yang metral, dan wanita terasa ada implikasi penghargaan pengucapannya.
b.
Hiponimi
Dekat dengan perhubungan yang
disebut sinonimi adalah perhubungan yang disebut hiponimi. Hiponimi
menyatakan hubungan makna yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Bila
sebuah kata memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak
sebaliknya, maka perhubungan itu disebut hiponimi. Kata warna meliputi semua
warna lain. Jadi merah, hitam, hijau adalah hiponim dari kata warna. Hiponimi
kemudian menjadi dasar pendekatan yang disebut dengan semantic field
atau semantic domain, yaitu pendekatan semantik yang mecoba melakukan
klasifikasi makna berdasarkan persamaan arti atau bidang makna yang sama
dikumpulkan dalam satu kelompok
c.
Homonimi dan Polisemi
Bila terdapat dua buah makna atau lebih yang dinyatakan dengan sebuah
bentuk yang sama, maka perhubungan makna dan bentuk itu disebut homonimi (sama
nama atau juga yang sering disebut homofini (sama bunyi). Kata seperti pukul
dapat menyiratkan makna (1) jam seperti terdapat dalam pukul tiga, dan
dapat menyiratkan makna (2) kegiatan memukul. Kata yang mempunyai banyak
makna disebut polisemi. Kata bisa (1) dan bisa (2) mengandung makna yang
sama sekali berbeda, oleh sebab itu dianggap dua kata yang dua kata yang
kebetulan bunyi sama atau sama nama. Tetapi kata pukul mempunyai dua makna yang
saling berhubungan, dan oleh karena itu disebut kata yang mempunyai banyak
makna.
d.
Antonimi
Perhubungan makna yang
terdapat antara sinonimi, polisemi, homonimi, hiponimi, atau polisemi,
bertalian dengan kesamaan-kesamaan, antonimi, sebaliknya, dipakai untuk menyebut
makna yang berlawanan. Bentuk-bentuk seperti laki-laki dan hidup, masing-masing berantonim dengan perempuan dan
mati . Dan kata-kata yang berlawanan makna itu disebut mempunyai perhubungan
yang bersifat antonimi.
Daftar Pustaka
- Wahyu, Tri R.N. 2006. Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Gunadarma.
- Peribahasa Indonesia. 2013. http://www.peribahasaindonesia.com/pengertian-diksi-pilihan-kata/. Diakses tanggal 10 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment