Persatuan dan kesatuan merupakan hal terpenting bagi suatu bangsa. Persatuan dan kesatuan penting bagi bangsa Indonesia mengingat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Oleh karena itu kita sebagai pemuda bangsa harus bisa mempertahankan rasa persatuan dan kesatuan. Persatuan sendiri berasal dari kata satu yang berarti utuh atau tidak terpecah-belah. Persatuan mengandung arti
“bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.Rasa persatuan dan kesatuan memiliki makna tersendiri bagi kehidupan bangsa kita. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini, itu terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali. Unsur-unsur sosial budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan. Persatuan dan kesatuan sendiri juga memiliki landasan hokum,yaitu landasan ideal dan landasan konstitusional. Landasan ideal berupa sila ketiga dalam Pancasila yang berbunyi “persatuan Indonesia”, sedangkan landasan konstitusional berupa UUD 1945. Kita sebagai generasi muda penerus bangsa harus bisa mengamalkan nilia-nilai persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal-hal positif yang bisa kita lakukan, misalnya: meningkatkan semangat kekeluargaan, gotong-royong dan musyawarah, meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan,pembangunan yang merata dll.
Akibat runtuhnya rasa persatuan dan kesatuan itu banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi, antara lain: tawuran antar pelajar satu sekolah, tawuran pelajar antar sekolah, peperangan antar penduduk, dan peperangan antar etnis. Tawuran antar pelajar sekolah sangat sering terjadi, padahal hanya disebabkan hal-hal yang sepele. Lain lagi dengan tawuran pelajar antar sekolah, peristiwa ini cenderung terjadi karena adanya adu gengsi antar sekolah yang bertikai.Yang lebih luas lagi yaitu terjadinya peperangan antar penduduk yang disebabkan adanya kesalahpahaman salah satu warganya, namun peristiwa ini lebih sering terjadi di daerah yang terbelakang. Dan yang terakhir yaitu terjadinya peperangan antar etnis yang selalu memekan banyak korban dan juga mendatangkan banyak kerugian.
Peristiwa-peristiwa diatas tidak mungkin terjadi tanpa adanya faktor-faktor yang menjadi sebab peristiwa itu terjadi. Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan tawuran maupun peperangan itu terjadi. Faktornya antara lain faktor sosiologis yang dimana factor ini di dukung oleh adanya pergaulan antar masyarakat.Yang selanjutnya adalah faktor psikologis, faktor ini bergantung pada pribadi seseorang. Orang yang cenderung melakukan hal yang negative berarti orang itu tidak memiliki psikologis yang seimbang atau dengan kata lain jiwanya terganggu. Selain itu juga terdapat faktor kebijakan pendidikan, kebijakan-kebijakan pendidikan yang sekarang cenderung memberikan beban berlebih kepada siswanya. Jadi, bukannya ilmu yang kita raih namun pikiran stress dan depresi yang kita terima. Oleh karena itu,sering sekali ada siswa yang melampiaskan rasa depresinya dengan tawuran. Faktor yang terakhir adalah faktor kebijakan publik, kebijkan publik yang terlalu berlebihan sering kali menimbulkan banyak protes dari masyarakat. Dengan demikian kebijakan yang terlalu ketat dan berlebihan akan menimbulkan pemberontakan dari masyarakat.
Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi diatas, banyak sekali dampak negatif yang di timbulkannya. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar. Yang pertama adalah faktor internal, remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Yang kedua adalah faktor keluarga, rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya. Yang ketiga adalah faktor sekolah , sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya .Yang terakhir adalah faktor lingkungan, lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemuda Indonesia perlu dilakukan suatu transformasi, baik transformasi sosial, maupun transformasi budaya. Misalnya, transformasi dari birokrasi tertutup, menjadi birokrasi terbuka dan transparan. Dalam melaksanakan transformasi sosial dan budaya, hal yang teramat penting disiapkan adalah Pemudanya, yang memiliki kemampuan lebih. Bukan dalam artian yang menonjolkan passion yang meledak-ledak dan cenderung kearah individualisme dan keunggulan yang dimilikinya disebut keunggulan individualistik. Pemuda sebagai generasi penegak kebenaran, pengayom republik di masa depan perlu membangun kemandirian dalam bentuk kebersamaan dengan para pemuda lainnya. Kerja keras saling bahu-membahu membangkitkan semangat satu sama lainnya adalah suatu harapan para pendahulu. Kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung niat baik para pemuda untuk membangun semua lini dalam kebersamaan. Niscaya keberhasilan suatu bangsa diperoleh sebagai akibat dari individualisme pemudanya. Jauhi sifat-sifat angkuh, sombong, menang sendiri dalam meraih citra terbaik. Penggunaan narkoba, obat-obat terlarang, minuman keras, perlu dikubur dalam dalam, sebab hal tersebut adalah merupakan awal kehancuran generasi dan pemuda suatu bangsa, yang akan berdampak tidak baik untuk generasi berikutnya. Rasa kebersamaan antar pemuda harus terus dipupuk, sehingga persaingan yang terjadi tidak mematikan satu sama lainnya. Keunggulan yang dimiliki dan dikembangkan oleh pemuda ditujukan untuk pengembangan pemuda Indonesia yang unggul dalam artian yang lebih maju membantu yang masih lemah, sehingga akan selalu berkembang yang lemah akan semakin diberdayakan agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan yang penuh persaingan.
“bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.Rasa persatuan dan kesatuan memiliki makna tersendiri bagi kehidupan bangsa kita. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini, itu terjadi dalam proses yang dinamis dan berlangsung lama, karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang ditempa dalam jangkauan waktu yang lama sekali. Unsur-unsur sosial budaya itu antara lain seperti sifat kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan. Persatuan dan kesatuan sendiri juga memiliki landasan hokum,yaitu landasan ideal dan landasan konstitusional. Landasan ideal berupa sila ketiga dalam Pancasila yang berbunyi “persatuan Indonesia”, sedangkan landasan konstitusional berupa UUD 1945. Kita sebagai generasi muda penerus bangsa harus bisa mengamalkan nilia-nilai persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal-hal positif yang bisa kita lakukan, misalnya: meningkatkan semangat kekeluargaan, gotong-royong dan musyawarah, meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan,pembangunan yang merata dll.
Akibat runtuhnya rasa persatuan dan kesatuan itu banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi, antara lain: tawuran antar pelajar satu sekolah, tawuran pelajar antar sekolah, peperangan antar penduduk, dan peperangan antar etnis. Tawuran antar pelajar sekolah sangat sering terjadi, padahal hanya disebabkan hal-hal yang sepele. Lain lagi dengan tawuran pelajar antar sekolah, peristiwa ini cenderung terjadi karena adanya adu gengsi antar sekolah yang bertikai.Yang lebih luas lagi yaitu terjadinya peperangan antar penduduk yang disebabkan adanya kesalahpahaman salah satu warganya, namun peristiwa ini lebih sering terjadi di daerah yang terbelakang. Dan yang terakhir yaitu terjadinya peperangan antar etnis yang selalu memekan banyak korban dan juga mendatangkan banyak kerugian.
Peristiwa-peristiwa diatas tidak mungkin terjadi tanpa adanya faktor-faktor yang menjadi sebab peristiwa itu terjadi. Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan tawuran maupun peperangan itu terjadi. Faktornya antara lain faktor sosiologis yang dimana factor ini di dukung oleh adanya pergaulan antar masyarakat.Yang selanjutnya adalah faktor psikologis, faktor ini bergantung pada pribadi seseorang. Orang yang cenderung melakukan hal yang negative berarti orang itu tidak memiliki psikologis yang seimbang atau dengan kata lain jiwanya terganggu. Selain itu juga terdapat faktor kebijakan pendidikan, kebijakan-kebijakan pendidikan yang sekarang cenderung memberikan beban berlebih kepada siswanya. Jadi, bukannya ilmu yang kita raih namun pikiran stress dan depresi yang kita terima. Oleh karena itu,sering sekali ada siswa yang melampiaskan rasa depresinya dengan tawuran. Faktor yang terakhir adalah faktor kebijakan publik, kebijkan publik yang terlalu berlebihan sering kali menimbulkan banyak protes dari masyarakat. Dengan demikian kebijakan yang terlalu ketat dan berlebihan akan menimbulkan pemberontakan dari masyarakat.
Dari peristiwa-peristiwa yang terjadi diatas, banyak sekali dampak negatif yang di timbulkannya. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar. Yang pertama adalah faktor internal, remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Yang kedua adalah faktor keluarga, rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya. Yang ketiga adalah faktor sekolah , sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya .Yang terakhir adalah faktor lingkungan, lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemuda Indonesia perlu dilakukan suatu transformasi, baik transformasi sosial, maupun transformasi budaya. Misalnya, transformasi dari birokrasi tertutup, menjadi birokrasi terbuka dan transparan. Dalam melaksanakan transformasi sosial dan budaya, hal yang teramat penting disiapkan adalah Pemudanya, yang memiliki kemampuan lebih. Bukan dalam artian yang menonjolkan passion yang meledak-ledak dan cenderung kearah individualisme dan keunggulan yang dimilikinya disebut keunggulan individualistik. Pemuda sebagai generasi penegak kebenaran, pengayom republik di masa depan perlu membangun kemandirian dalam bentuk kebersamaan dengan para pemuda lainnya. Kerja keras saling bahu-membahu membangkitkan semangat satu sama lainnya adalah suatu harapan para pendahulu. Kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung niat baik para pemuda untuk membangun semua lini dalam kebersamaan. Niscaya keberhasilan suatu bangsa diperoleh sebagai akibat dari individualisme pemudanya. Jauhi sifat-sifat angkuh, sombong, menang sendiri dalam meraih citra terbaik. Penggunaan narkoba, obat-obat terlarang, minuman keras, perlu dikubur dalam dalam, sebab hal tersebut adalah merupakan awal kehancuran generasi dan pemuda suatu bangsa, yang akan berdampak tidak baik untuk generasi berikutnya. Rasa kebersamaan antar pemuda harus terus dipupuk, sehingga persaingan yang terjadi tidak mematikan satu sama lainnya. Keunggulan yang dimiliki dan dikembangkan oleh pemuda ditujukan untuk pengembangan pemuda Indonesia yang unggul dalam artian yang lebih maju membantu yang masih lemah, sehingga akan selalu berkembang yang lemah akan semakin diberdayakan agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan yang penuh persaingan.
No comments:
Post a Comment