Budaya Politik


Budaya Politik

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.



Bagian-bagian budaya politik
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :
  1. Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
  2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
  3. Budaya politik partisipatif (aktif)

Tipe-tipe Budaya politik
  • Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis atau religius.
  • Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah.
  • Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.

Tipe-tipe Budaya Politik Menurut Greetz :
Ø   Budaya Politik Abangan, yaitu aspek animisme/kepercayaan masyarakat
Ø   Budaya Politik Santri, yaitu keagamaan (Islam)
Ø   Budaya Politik Priyayi, yaitu kelompok aristokrat (pejabat pemerintahan, kalangan atas, dan sebagainya)

Budaya politik yang berkembang di indonesia
Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya harus di telaah dan di buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut :
  • Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas, kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
  • Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-Kaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
  • Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
  • kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal bapak senang.
  • Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Budaya Politik di Indonesia
Affan Gaffar (1999) dalam bukunya Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, mengatakan budaya politik di Indonesia memiliki tiga ciri dominan yaitu :

  • Hirarki yang Tegar/Ketat
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa (wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian rupa sesuai dengan asal usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar' kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.
Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya. Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya.

  • Kecenderungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungan dari basisnya.
Kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan penguasa dan masyarakat maupun pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan.
Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron) dipandang sebagai tumpuan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional.

  • Kecendrungan Neo-patrimonisalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
ü  Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi;
ü  Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tegas;
ü  Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya;
ü  Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.

Dikatakan neo-patrimonalistik karena negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara.
Adapun menurut Affan Gaffar, negara patrimonalistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:
Ø  Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik.
Ø  Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa.
Ø  Kebijakan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik. 
Ø  Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya lebih besar.
Selanjutnya, manakah sesungguhnya budaya politik Indonesia?, Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen atas dasar suku, daerah, dan agama maka di Indonesia terdapat banyak sub budaya politik. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika sehingga semua bentuk subbudaya yang ada di Indonesia adalah budaya politik nasional.
Salah satu aspek penting dalam sistem politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik mengutamakan segi psikologis dari suatu sistem politik. Demokrasi Pancasila adalah suatu paham demokrasi yang bersumber pada pandangan atau filsafat hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi Pancasila pada hakikatnya adalah sarana atau alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan negara sebagaimana telah dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Budaya Politik Pancasila akan mengarahkan keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi seperti politik dan pandangan hidup pada umumnya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Adapun sistem politik Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 1 ayat (2) adalah sistem politik demokrasi, yaitu Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Budaya politik ini adalah yang sesuai, selaras, dan sebangun dengan sistem. 

Perkembangan politik di Indonesia

Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai era reformasi saat ini dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia, negara kita dalam menjalankan roda pemerintahan dengan menggunakan demokrasi dibagi dalam empat masa. Pertama, masa Repubik Indonesia I (1945-1959) atau yang lebih dikenal dengan era Demokrasi Liberal atau Demokrasi Parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998) atau yang lebih dikenal dengan era Orde Baru atau Demokrasi Pancasila. Dan yang terakhir yang berlaku sampai saat ini adalah masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) atau yang lebih dikenal dengan era Reformasi.
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut dari setiap masa ke masa. Perkembangan demokrasi tersebut mempengaruhi pula stabilitas sistem politik Indonesia. Karena itu sangat penting untuk mengkaji berhasil atau tidaknya suatu rezim yang sedang atau telah berkuasa, diperlukan suatu kerangka kerja yang dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan ketatanegaraan. Dalam kajian ini adalah terkait dengan kehidupan politiknya. Ada dua kerangka kerja yang sering digunakan oleh para pengamat politik untuk melihat bagaimana kinerja sistem politik suatu negara. Karena salah satu sifat penting sistem politik adalah kemampuannya untuk dibedakan dengan sistem politik lainnya, seperti organisme dan individu misalnya. Kedua kerangka kerja tersebut adalah pendekatan struktural-fungsional dan pendekatan budaya politik. Dengan pendekatan struktural-fungsional akan dapat diketahui bagaimana struktur-struktur maupun fungi-fungsi politik suatu sistem politik bekerja. Sedangkan dengan pendekatan budaya politik akan dapat diketahui bagaimana perilaku aktor-aktor politik dalam menjalankan sistem politik yang dianut oleh negara masing-masing, dalam hal ini adalah elite maupun massanya (Budi Winarno, 2008: 18).
 Karena pentingnya mempelajari perkembangan sistem politik di negara kita ini, maka dalam tulisan kali ini saya akan mencoba sedikit mengulas mengenai perkembangan sistem politik Indonesia dari mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi dengan menggunakan kerangka kerja pendekatan budaya politik.

1. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)
Budaya politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer sangat beragam. Dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 190). Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya poltik pada era ini.

2. Era Demokrasi Terpimpin (Dimulai Pada 5 Juli 1959-1965)
Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik (Rusadi Kantaprawira, 2006: 196).
Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat kharismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian muncul dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Sedangkan pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.
Pengaturan soal-soal kemasyaraktan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliran-aliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa (Rusadi Kantaprawira, 2006: 197).
Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada. Namun, saluran inputnya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan output yang berupa output simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.

3. Era Demokrasi Pancasila (Tahun 1966-1998)
Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern (Rusadi Kantaprawira, 2006: 200).
Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek. Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.
Di masa Orde Baru kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. 

4. Era Reformasi (Tahun 1998-Sekarang)
Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson dalam Budi Winarno (2008), budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008) mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.


Menurut Ignas Kleden dalam Budi Winarno (2008), terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain:
1.    Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
2.    Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dsb.
3.    Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
Realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
4.    Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
5.    Desentralisasi politik
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno (2008) karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut.



Sumber :
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cetakan ke X.
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Rini Setyani dan Dyah Hartati. PKn Kelas XI. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdiknas.
http://pkndisma.blogspot.com/2013/07/budaya-politik-yang-berkembang-di.html
http://politik.kompasiana.com/2012/05/30/budaya-politik-yang-berkembang-di-indonesia-466971.html


No comments:

Post a Comment